Categories
Sinopsis

Konsep Fitrah

Tulisan ini saya muat di Blog saya terdahulu, tiga hari menjelang Idul Fitri. Dan saya muat kembali di sini, tiga hari setelah, untuk dijadikan cermin keberhasilan kita berpuasa selama sebulan penuh. Semoga dapat dihayati dengan baik.

Sebentar lagi Ramadhan berakhir, saat itulah ummat muslim sedunia merayakan Hari Raya ‘Id Fitri. Id dalam bahasa Indonesia berarti kembali. Kembali adalah lawan kata dari pergi. Kalau kita definsikan pergi sebagai meninggalkan sesuatu untuk menuju ke suatu tempat lainnya, maka kita dapat mendefinisikan kembali sebagai gerakan yang mengantar kita balik menuju kepada titik awal kita sebelum beranjak.  Oleh sebagian ummat muslim, gerak balik ini diekspresikan secara fisik sebagai mudik ke kampung halaman, bertemu dengan orang tua, sanak keluarga dan handai taulan, yang merupakan titik awal kehidupan mereka di dunia. Kata Id mengandaikan nasib perjalanan manusia yang telah begitu jauh ditempuh sehingga ia membutuhkan sebuah momen untuk kembali, gerak balik dan kepulangan. Gerak balik ini memiliki sifat yang sangat berbeda dengan kepergian. Pergi selalu anonim, tanpa tujuan yang pasti dan memiliki banyak sekali kemungkinan, sedangkan kembali hanya memiliki satu saja tujuan, titik awal. Tapi, apakah titik awal  itu? Benar, ia adalah fitrah. Fitrah adalah titik awal manusia. Sesuatu yang seringkali terlupa dalam perjalanan hidup kita, tapi karena dayanya yang kuat akan selalu memaksa kita untuk kembali bersua dengannya. Ia adalah kompas, neraca dan ukuran paling murni yang akan membuat kita kembali kepada hakekat diri kita yang sesungguhnya.

Kata fitrah, berasal dari akar kata fa tha ra, fathrun, yang memiliki arti pemisahan, pemecahan, pembelahan dan pematahan. kata bentukan fatharahu, berarti juga menciptakan dan mengadakan. Sedangkan kata bentukan futhira memiliki arti yang sama dengan thubi’a yakni melekatkan, menempelkan dan mencap. Dalam al-Quran disebut, thubi’a Allah ‘ala qulubihim (Allah telah menutup rapat hati mereka) memiliki makna yang sama dengan khatama (mengunci). Dari kata thubi’a inilah kemudian muncul kata thab’un yang merujuk kepada nature, asal muasal, atau kualitas-kualitas bawaan manusia, dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai tabiat. Dari sinilah, kemudian kata fitrah sinonim dengan sifat-sifat bawaan manusia, sesuatu yang tidak berubah dan telah ada sejak awal, naluri. Hal ini kemudian ditegaskan oleh Nabi, bahwa setiap bayi dilahirkan seusai fithrah, dan ayahnyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. Untuk kemudian, kata fitrah ini sinonim dengan Islam, melegitimasinya sebagai agama yang cocok dengan naluri bawaan manusia, akal. Sebenarnya, pengambilan makna fitrah lewat model tadi adalah bentuk yang lazim kita temui. Fitrah sendiri pada akhirnya sering diterjemahkan sebagai nature dan naluri. Tapi apakah benar fitrah itu sinonim dengan naluri atau nature sebagaimana yang kita pahami? Dan ketika ada pembagian antara “agama bumi” dan “agama wahyu”, kira-kira, dalam prespektif fitrah, apakah Islam itu termasuk agama bumi? Bukankah agama bumi itu juga memandang keselarasan manusia dengan alam, naluri atau nature, fitrah? Dari sudut pandang keimanan kita, pertanyaan-pertanyaan tadi sepertinya tampak menjebak dan bodoh, toh semua juga tahu bahwa Islam itu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW lewat wahyu Tuhan. Tapi, ketika kita berbicara hal ini dari prespektif fitrah, tentunya dibutuhkan kesinambungan logis antara dua argumen tadi. Dan setelah saya perhatikan, kunci dari itu semua terletak dari makna fitrah yang menurut saya ambigu. Dengan demikian, kita mulai dari pertanyaan pertama, apa itu fitrah?

Berbeda dengan model pengambilan makna yang lazim tadi, saya lebih tertarik melihat fitrah sebagai fenomena dari fathrun yaitu cacat, atau Crack. Dalam al-Quran sendiri, kata fitrah selalu mengambil bentuk kata kerja lampau, past tense, fathara, dan hanya dalam dua ayat saja ia berbentuk kata benda: fithrata dan futhur. Sebagai kata kerja, ia hadir di delapan ayat. Di sini kita menemukan bentukan kata fitrah yang sinonim dengan khalaqa, menciptakan. Misalnya dalam ayat 6:79 disebutkan: “Aku hadapkan wajahku kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik”, hal mana juga ditemukan pada ayat 17:51, 11:51, 36:22, 43:27, 20:72 dan 30:30. Apakah, dengan demikian fitrah itu berhubungan dengan penciptaan? Lalu, apa bedanya dengan kata khalaqa? Kalau kita buka ayat-ayat al-Quran yang berisi kata khalaqa yang berjumlah 207 itu, berikut variannya, akan kita temui beberapa nuansa: pertama, pelaku dalam kata khalaqa tidak selalu berbentuk singular tapi juga jamak. Sedangkan dalam kata fathara, pelakunya hanya satu, yaitu Allah. Sebagaimana lazim kita ketahui, ketika al-Quran menggunakan pelaku jamak pada setiap kata kerja, maka itu merupakan pertanda dari sebuah proses yang melibatkan unsur-unsur duniawi, baik biologis maupun fisis. Seperti penciptaan manusia yang melibatkan pertemuan sperma dan ovum selain kekuasaan Tuhan dalam memberikan kehidupan. Adapun, bentuk kata kerja dengan pelaku singular, maka hal tersebut senantiasa berkaitan dengan keridhaan Allah, hak prerogatif. Kedua, redaksi dari ayat-ayat yang mengandung kata fathara selalu melibatkan seseorang yang menyeru kepada tauhid dan sepertinya orang tersebut telah mengalami sejenis pencerahan sehingga ia mampu bertindak dengan kekuatan yang luar biasa. Hal ini tercermin pada Rasulullah di 43:27, nabi Hud, para penyihir Firaun yang bertobat, atau seseorang di surat Yasin, yang menisbahkan kata fathara kepada Allah sebagai penjelasan atas tindakannya tersebut. Ketiga, dan ini yang paling obvious, kata fathara berkorelasi secara positif dengan kata din, agama. Dalam ayat 30:30 bahkan dijelaskan bahwa sikap beragama yang hanif itu adalah fitrah yang diciptakan Allah kepada manusia. Dengan demikian, jika kita hubungkan dengan argumen kedua di atas, maka fitrah memiliki korelasi dengan hidayah, sebuah pemberian petunjuk yang terjadi atas dasar kemauan Allah semata. Keempat, dalam ayat 29:3, Allah bahkan mengkontraskan akar kata fitrah, futhur, dengan kesempurnaan. Alam semesta ciptaan Tuhan ini, termasuk manusia, adalah sebuah maha karya sempurna yang tidak memiliki futhur, jamak dari cacat, sama sekali. Sehingga dapat dipahami bahwa fitrah itu berhubungan pula dengan yang aksiden dan partikular, atau dalam konteks ayat tadi bersifat aksidental, tidak terduga.

Sekarang, bagaimana menerjemahkan makna fitrah dengan pendekatan fathrun atau crack tadi? Sebenarnya, selain memiliki arti crack, futhur juga memiliki arti lain: sarapan, makan pagi, dan memiliki hubungan intrinsik dengan ifthar, makanan waktu berbuka puasa. Baik sarapan maupun berbuka adalah suatu bentuk penyimpangan dari berpuasa, orang dikatakan tidak berpuasa lagi setelah ia makan yang merupakan sebuah tanda keberputusan, sebuah batas atau crack. Bila kita lihat dari sudut pandang berpuasa di bulan Ramadhan, maka fitrah dapat diartikan sebagai sebuah pelepasan, penutup, dari usaha kita berpuasa. Seperti usaha keras orang yang berusaha menahan rasa lapar, momen pelepasan berpuasa merupakan sebuah peristiwa mengisi ulang tenaga yang dulu tersendat-sendat. Sebuah musim semi bagi tubuh dan jiwa, saat tunas-tunas tumbuh berkembang memancarkan segenap daya hidup. Sebuah reborn kelahiran kembali. Meskipun demikian, peristiwa fitrah ini tidak selalu berjalan liniar dengan berpuasa selama sebulan penuh. Karena sifatnya yang murni prerogatif Tuhan, maka fitrah lebih tepat dinamakan sebagai sebuah hidayah (hidayah itu juga berkaitan dengan hadiah atau ganjaran), pencerahan. Karena hanya Tuhan jualah yang memutuskan siapa saja hambaNya yang akan Ia berikan petunjuk dan hidayah. Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa puasa adalah milik Tuhan, dan hanya Dia saja yang akan memberikan ganjarannya. Argumen ini diperkuat dengan redaksi ayat 30:30 yang menyebutkan bahwa sikap beragama yang hanif merupakan fitrah yang Allah “fitrahkan” kepada manusia, sebuah petunjuk, sebuah hidayah. Dengan demikian, makna intrinsik dari fitrah berbeda dengan makna intrinsik yang terkandung dalam naluri dan nature, karena ia merupakan sesuatu yang given tapi diusahakan dan bersifat sporadis, sedangkan naluri dan nature adalah murni given.

Apa yang dapat saya simpulkan dari diskusi ringan ini adalah, titik awal kita, petunjuk Ilahiah, sebuah hidayah, sebuah pencerahan. Di titik inilah kita dapat memandang segala suatu dengan jernih. Dan apa yang kita dapat dari sebuah perayaan setelah Ramadhan, tak lain daripada sebuah gerak kembali menuju keridhoan Allah. Semoga Allah menerima usaha kita, dan semoga kita dapat kembali ke hidayahNya dan menjadi seorang pemenang (orang yang memenangi kasih sayang Tuhan) dan semoga hidayah ini akan selalu membekas di diri kita sepanjang tahun dan itulah saat-saat penuh kebaikan.

Selamat berlebaran! Selamat ‘Id Fitri!

Post Script:

  • Tulisan ini hanyalah sebuah alternatif kecil yang saya ajukan untuk memahami fitrah, apabila ada kesalahan mohon dikoreksi.
  • Mengenai penjelasan tentang fitrah, lihat tulisan Yasin Muhammad di http://www.angelfire.com/al/islamicpsychology/fitrah/fitrah.html
  • Saya menggunakan anotasi, (nomer surat) : (nomor ayat), untuk lebih memudahkan dalam mencari di al-Quran.